Kamis, 16 Desember 2010

9. TKI/TKW antara penghasil devisa, kekerasan terhadap pekerja, dan perlindungan serta jaminan hukum dari pemerintah

Dari tahun ke tahun, kondisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih memperlihatkan kondisi menderita dan tereksploitasi di diri para pekerja migran itu. Perlindungan pekerja migran Indonesia memang masih menjadi hal yang kompleks, namun sebetulnya bukan sulit tidak sulit, melainkan serius atau tidak Pemerintah dan pemangku kepentingan mengatasinya.
Hingga tahun 2010, tidak kurang dari 6 juta warga negara Indonesia yang mengadu nasib sebagai pekerja migran di luar negeri. Sebagian terbesar yaitu 80 persen adalah perempuan dan 70 persen dari TKW Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Arab Saudi menjadi negara tujuan penempatan TKI terbesar di kawasan Timur Tengah. Sementara Malaysia menjadi negara tujuan penempatan TKI terbesar di kawasan Asia Pasifik.

Seperti diketahui, pekerja migran Indonesia masih banyak dirundung malang. Tidak hanya ketika bekerja pada majikannya di negara penempatannya, namun TKI terlebih TKW (tenaga kerja wanita) asal Indonesia, banyak mengalami eksploitasi, penipuan, penyiksaan dan kriminalisasi, mulai dari saat rekrutmen, penempatan, bekerja, hingga saat kembali ke tanah air. Hingga awal tahun 2010 saja, menurut data Migrant Care tidak kurang dari 2.878 TKI mengalami kekerasan di seluruh negara penempatan. Sementara setidaknya 215 orang TKI meninggal ketika bekerja di Arab Saudi dan 683 orang di Malaysia.
Temuan Migrant Care tentang tipologi masalah TKI di negara-negara penempatan adalah sebagai berikut. Tipikal masalah TKI di Malaysia adalah legalitas pekerja, di Hongkong mayoritas adalah upah rendah, di Taiwan banyak gaji TKI tidak dibayar dan pemutusan hubugan kerja (PHK) sepihak, di Singapura TKI banyak terjebak dalam rekrutmen untuk penyelundupan (smugling in person) dan di Arab Saudi TKI terutama TKW banyak mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual.
Masalah kesejahteraan pekerja migran Indonesia, termasuk perlindungan keselamatan dan hak-hak mereka sebagai pekerja, menjadi hal yang kompleks. Masalah yang harus dibenahi meliputi banyak hal.
Pertama, kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dari pekerja migran Indonesia. Mayoritas pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri direkrut dari pedesaan, di mana tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah. Belum lagi diskriminasi akses pendidikan perempuan yang terpinggirkan, sementara mayoritas yang dikirim bekerja ke luar negeri adalah perempuan. Kualitas dan kapasitas pekerja migran Indonesia yang terutama adalah minimnya kemampuan bahasa yang menjadi bahasa komunikasi di negara penempatan. Selain itu, penguasaan ketrampilan menggunakan perkakas kerja yang semakin canggih, membuat pekerja migran Indonesia sering membuat kesalahan dalam kerja, yang dampaknya memicu kemarahan pihak majikan.
Kegagalan komunikasi karena pekerja tidak memiliki kemampuan bahasa yang digunakan di negara penempatan, membuat hubungan antara majikan dan pekerja menjadi penuh ketegangan dan kekecewaan. Dampaknya, majikan menjadi rawan melakukan perlakuan salah (abuse) terhadap pekerja berupa hukuman fisik, kekerasan verbal, hingga penyiksaan dan pelecehan; bahkan akhirnya menjadi kerap dilakukan tanpa alasan atau sebab yang jelas lagi.
Kedua, kebijakan Pemerintah yang menempatkan TKI sebagai komoditas penghasil devisa dan remitansi, mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya tenaga kerja upah murah ke luar negeri. Secara psikologis pun, pekerja murah rawan menjadi korban pelecehan martabat kemanusiaannya. Pemerintah harus menegakkan martabat TKI dengan menghentikan kebijakan ekspor tenaga kerja murah.
Ketiga, “mafia” rekrutmen, pengiriman, dan penempatan TKI ke luar negeri, di mana banyak pihak yang mengambil keuntungan (baik agen resmi maupun tidak resmi, dengan memungut biaya di atas tarif resmi), membuat nasib TKI lagi-lagi menjadi obyek eksploitasi yang jauh dari jaminan perlindungan apalagi kesejahteraan. Pemerintah harus memberantas mafia TKI baik di dalam maupun di luar birokrasi Pemerintah.
Apabila ketiga permasalahan tersebut di atas masih belum dibenahi, namun Pemerintah masih membuka kran ekspor pekerja migran Indonesia ke luar negeri, artinya Pemerintah memang tutup mata. Artinya pula, Pemerintah hanya tahu mengeksploitasi SDM murah dan membiarkan SDM Indonesia tidak berkualitas dan kapasitas, sehingga menjadi bulan-bulanan dan obyek perundungan di negeri seberang. Untuk itu, setiap kali ada TKI kembali ke kampung halaman hanya tinggal nama dan tubuh dalam peti jenazah, Pemerintah pantaslah dituntut pertanggungjawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar